Diferensiasi Pesisir: Tantangan dan Harapan dari Desa-Desa di Pantai Utara Jawa Tengah

Penulis: Karunia Haganta, Nisrina Nadhifah, Ruhaina Zulfiani
Penyunting: Fadilla D Putri

Dalam pidatonya saat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada 2014, Joko Widodo mengungkapkan bahwa Indonesia “telah lama memunggungi laut”. Pernyataan tersebut bukannya tanpa alasan, tetapi didasarkan pada pembangunan Indonesia selama ini yang meminggirkan sektor kelautan. Urgensi makin terasa jika melihat bahwa The World Risk Report pada 2014 telah melaporkan bahwa Indonesia berada dalam risiko tinggi atas krisis iklim. Salah satu wilayah rentan saat itu adalah Pantai Utara Jawa yang 44% dari total garis pantainya telah rusak akibat abrasi (Hidayati, et al., 2017). Sayang sekali, sekian tahun berlalu, kita masih saja ‘memunggungi laut’.

Pemerintah bukannya tidak melakukan apapun terhadap kawasan pesisir dalam menghadapi krisis iklim. Sayangnya, upaya yang dilakukan masih jauh panggang dari api. Berbagai proyek ‘pembangunan’ kerap digemborkan, namun seperti halnya proyek tanggul laut di Semarang, pembangunan ini hanya mengulur waktu tenggelam karena tidak adanya pemahaman pemerintah tentang kondisi pesisir Semarang yang mengalami penurunan tanah (land subsidence) (Ley, 2021).

Dalam pelaksanaan proyek FOCUS (Fisherfolk Empowerment for Climate Resilience and Sustainability), kami mengakui keberagaman kelompok pesisir di Jawa Tengah, termasuk perbedaan dalam hal sumber daya, peraturan, dan relasi sosial, terutama di lima kota/kabupaten wilayah kerja kami. Inilah yang mendasari kami untuk menyusun Profil Desa sebagai langkah awal. Diferensiasi di pesisir tersebut perlu dilihat dalam lokalitasnya, yang dalam konteks ini kami lihat dalam unit desa.

Kami juga menyadari bahwa masyarakat pesisir selalu punya agensi, sehingga Profil Desa sedari awal bukanlah inventarisasi permasalahan. Lebih dari itu, Profil Desa adalah pencatatan atas aspirasi, sejarah, dan yang paling penting adalah potensi masyarakat pesisir itu sendiri yang telah atau akan mereka kenali. Dalam Profil Desa yang dibuat secara partisipatoris, kami mencoba untuk menggali pertanyaan-pertanyaan politik-ekonomi: siapa memiliki apa (atau siapa memiliki akses terhadap apa)? Siapa melakukan apa? Siapa mendapatkan apa? Apa yang mereka lakukan dengan itu? Bagaimana kelas sosial dan kelompok-kelompok dalam masyarakat (dan dalam konteks bernegara) berinteraksi satu sama lain? Bagaimana perubahan dalam politik dipengaruhi oleh ekologi yang dinamis dan sebaliknya? (Humanis, 2023).

Namun, aspek penting lainnya yang melampaui pendekatan ilmiah dan teoritis dalam penyusunan Profil Desa adalah proses pengakraban. Dalam proses ini, kami melihat dan mendengar langsung dari perempuan nelayan, tokoh masyarakat, perangkat desa, orang muda, dan masih banyak lagi dengan segudang cerita yang mereka bawa. Inilah secuil dari kisah-kisah desa tersebut.

Balong: Pesisir Bukan Cuma Nelayan
Selepas Isya pada 24 Februari 2024, sekitar pukul 19:30 WIB, kami menunggu warga berkumpul di rumah salah satu tokoh masyarakat. Setelah menempuh perjalanan melewati hutan jati dan kebun jagung dengan minim penerangan jalan, kami sampai sesuai waktu perkiraan. Malam menjadi waktu yang dipilih masyarakat dengan alasan sederhana, mereka beristirahat di kala siang dan bekerja menyadap karet pada dini hari sekitar mulai pukul 02.00. Dengan mengandalkan imajinasi yang terbatas mengenai pesisir yang konon katanya penuh nelayan, laut, dan ikan, Balong terlihat sebagai sesuatu yang berbeda. Sekitarnya adalah perkebunan jati, kebun jagung, maupun PLTU. Sangat sedikit warganya yang menjadi nelayan. Warga lebih akrab berbicara tentang padi, jagung, singkong, maupun kacang-kacangan, alih-alih jenis-jenis ikan. Ketika berbicara mengenai mata pencaharian warga, hanya satu jenis ikan yang terucap, ikan lele, yang bahkan masih jarang dibudidayakan warga karena masih minimnya pengetahuan mereka dan warga sebenarnya ingin mempelajarinya.

Meskipun begitu, pemahaman mereka tentang mata pencaharian mereka menanam padi bukannya tanpa pengetahuan. Membandingkan pengetahuan mereka mengenai musim tanam dengan kalender musim yang dicatatkan BMKG menunjukkan pengetahuan mereka jauh dari keliru. Padi dan jagung adalah komoditas primadona, tetapi semuanya bergantung pada pasar. Pasar yang tidak menentu kerap membuat budidaya komoditas tertentu menjadi riskan. Komoditas seperti kacang atau ketela bisa dibilang cukup stabil harganya di pasar. Namun, ikan lele yang mereka budidaya, dengan ukuran yang tidak menentu, tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.

Bukan berarti krisis iklim tidak berdampak pada mereka. Tanaman-tanaman yang mereka budidaya amat bergantung dengan pengelolaan air yang bukan hanya bertumpu pada irigasi, tetapi juga curah hujan. Ketela dan kacang-kacangan yang mereka tanam, misalnya, kerap gagal karena kebanyakan air akibat hujan yang makin sulit diperkirakan. Untuk mempelajari dan membudidayakan komoditas baru, misalnya semangka, perlu modal yang tidak sedikit karena kondisi yang makin sulit diprediksi. Hanya segelintir orang yang berani–dan mampu–mencoba membudidayakan komoditas baru.

Laut memang terasa “jauh” dari imajinasi masyarakat Balong karena mereka menggantungkan hidup mereka pada pertanian. Meski begitu, terkadang mereka memanfaatkan kelapa atau ketapang di dekat pantai. Kehadiran kapal-kapal besar di laut juga terkadang membuat mereka was-was akan adanya proyek-proyek ekstraktif seperti pertambangan yang menurut mereka akan mengancam lingkungan, seperti semakin memperparah abrasi dan lainnya.

Masyarakat Balong memiliki sejarah panjang terhadap pembangunan dari luar yang terbilang cukup besar, seperti PTPN maupun PLTU. Mereka cukup terlatih mengorganisir diri, bahkan rutin bersolidaritas, salah satunya pada kawan Daniel Frits Maurits, aktivis lingkungan yang ditahan dan dikenakan pasal pencemaran nama baik UU ITE karena bersuara perihal praktik tambak udang yang menimbulkan persoalan buangan limbah mengotori permukaan laut dan pipa-pipa tambak udang yang menjulur ke laut yang merusak terumbu karang di Jepara.

Warga sangat sadar bahwa akses terhadap sumber daya adalah hal yang perlu terus diperjuangkan. Lahan yang sekarang telah ditanami jagung di dekat Gapura Selamat Datang di Balong, menurut keterangan salah satu tokoh masyarakat, juga adalah hasil dari upaya warga memperjuangkan akses lahan. Pekerjaan utama sebagian besar masyarakat Balong, menyadap karet, juga menjadi bukti nyatanya. Mereka berhasil mempertahankan dan mendesak akses mereka terhadap lahan yang menjadi perkebunan karet dan menggunakannya sebagai mata pencaharian mereka. Laki-laki maupun perempuan bekerja menyadap karet. Pada awalnya, upah mereka dihitung berdasarkan jumlah karet yang didapat, tetapi kini upah mereka mulai dibakukan, baik laki-laki maupun perempuan.

Morodemak dan Purworejo: Pengorganisasian Sehari-hari
Meski waktu masih menunjukkan sekitar pukul sembilan pagi, cuaca sudah terasa amat panas. Dengan menaiki mobil, kami sampai di Desa Purworejo setelah melewati jalan sempit dan berbatu. Di samping jalan tersebut adalah sungai atau tambak milik warga. Mangrove juga cukup banyak terlihat di sekitar jalan dan tambak tersebut. Sisa bambu yang mencuat di pinggir jalan memperlihatkan bahwa jalan tersebut telah dilebarkan seiring dengan semakin menjoroknya tanggul pembatas jalan ke arah sungai atau tambak. Namun, di hari itu, tanggal 26 Februari 2024, tujuan kami adalah Desa Morodemak. Untuk sampai di sana, kami perlu menyeberangi sungai menggunakan getek dengan ongkos ‘seikhlasnya’, yang kami berempat bayar Rp10.000. Sungai tersebut penuh dengan perahu-perahu nelayan dengan banyak bendera partai politik berkibar lusuh.

Foto 1. Sungai yang menghubungkan Purworejo dengan Morodemak, 27 Februari 2024 (Nisrina Nadhifah)

Setelah menyeberang, kami sampai di Morodemak. Berjalan sedikit dari titik kami menyeberang, kami sampai di Sekretariat Puspita Bahari. Bangunan tersebut berada di pinggir sungai dan dihiasi banyak penghargaan yang telah diperoleh Puspita Bahari dari banyak pihak. Puspita Bahari memang bukan kelompok perempuan biasa, tetapi kelompok perempuan nelayan. Berbeda dengan kelompok perempuan yang kerap dijadikan target sosialisasi pelatihan yang dianggap “khas” perempuan, seperti memasak, Puspita Bahari menuntut pengakuan. Buat para perempuan nelayan ini, mereka butuh pengakuan dan perlindungan di tengah laut yang makin ganas karena krisis iklim. Dengan pengakuan, mereka akan dapat mengakses perlindungan dalam bentuk asuransi sebagai nelayan. Sayangnya, banyak dari mereka masih belum diakui statusnya sebagai nelayan, salah satunya disebabkan oleh definisi “nelayan” dalam UU Perikanan yang mengeksklusi peran-peran perempuan, karena dianggap hanya menemani suami mereka melaut (Mongabay, 2021).

Krisis iklim sangat membuat masyarakat Morodemak tidak tenang. Banjir rob masih kerap terjadi, meski beberapa tahun terakhir sudah tidak terlalu tinggi, sekitar semata kaki. Namun, kedatangannya tidak bisa diprediksi, bahkan pernah terjadi ketika warga sudah terlelap. Bagi perempuan, ini menambah beban mereka untuk membersihkan sisa-sisa banjir rob. Bukan hanya banjir rob, cuaca buruk makin tidak menentu dan kerap membuat listrik mati. Lagi-lagi beban perempuan bertambah karena kerja domestik mereka menjadi makin sulit karena tidak ada listrik, seperti mencuci yang harus dilakukan manual. Segala dampak krisis iklim tersebut sangat membuat kelompok-kelompok yang selama ini telah termarginalkan menjadi makin rentan. Kelompok seperti anak-anak, orang dengan disabilitas fisik maupun mental, dan lansia di Morodemak, cenderung terpaksa berdiam diri ketika banjir rob atau mati listrik terjadi.

Salah satu dampak krisis iklim yang merusak pembangunan Morodemak sampai sekarang adalah rusaknya dan lenyapnya mangrove karena rob. Ketika jumlah mangrove di pantai masih terbilang banyak, warga sempat menginisiasi ekowisata di Morodemak. Inisiatif ini akhirnya gagal setelah tidak adanya dukungan dari pemerintah serta krisis iklim yang makin parah dan merusak mangrove-mangrove tersebut. Kini, untuk memulihkan mangrove tersebut saja warga masih kebingungan.

Dalam kondisi seperti ini, warga amat membutuhkan jaminan sosial. Program jaminan sosial dalam bentuk kartu memang sudah ada, dan bahkan menurut warga “sudah terlalu banyak kartu” dan kadang justru malah memusingkan. Apalagi pada kenyataannya, jumlah kartu sering tidak sebanding dengan jumlah pelayanan karena kartu seolah formalitas belaka. Akibatnya warga tetap sering kesulitan mengakses jaminan sosial. Banyak perempuan nelayan yang telah berjuang selama dua tahun untuk mendapatkan kartu nelayan, tetapi mereka tetap tidak bisa mengakses asuransi maupun rekom (subsidi solar).

Puspita Bahari memperjuangkan hak-hak tersebut, terutama bagi perempuan nelayan. Anggotanya tidak terbatas di Morodemak, tetapi juga ada di Purworejo. Kami berdiskusi dengan warga Purworejo di Balai Desa pada 27 Februari 2024. Morodemak dan Purworejo memang memiliki banyak kemiripan karena Purworejo adalah pemekaran dari Morodemak. Selain itu, warga mengenal Morodemak, Purworejo, dan Margolinduk sebagai Tri Desa, akibat sejarah pembentukan desa yang saling terkait antar ketiganya, pemekaran, dan hasil laut yang cukup terkenal (Prasetyo, 2010). Banyak kegiatan Puspita Bahari yang melibatkan perempuan-perempuan Purworejo.

Buah dari perjuangan perempuan-perempuan ini, sejak akhir Maret 2019, setelah dua tahun berproses, 31 perempuan dari Dukuh Tambakpolo Desa Purworejo akhirnya berhasil mengubah identitas kartu tanda penduduk (KTP) mereka dari status sebagai ibu rumah tangga menjadi nelayan dan mendapatkan kartu asuransi nelayan. Ini merupakan sebuah preseden baik dan sekaligus pengingat bahwa masih banyak nelayan perempuan lain yang belum diakui dan hak-haknya belum terpenuhi sebagai nelayan.

Foto 2. Foto bersama dengan warga Morodemak di Sekretariat Puspita Bahari, 26 Februari 2024 (Abdul Manan)

Komunitas-komunitas yang ada di kedua desa ini memang memiliki fungsinya masing-masing. Selain Puspita Bahari yang memperjuangkan nelayan, khususnya perempuan nelayan, di Purworejo terdapat banyak kegiatan pengajian. Ada banyak sekali pengajian yang rutin diadakan di sini, baik yang diikuti perempuan, laki-laki, atau orang muda. Ketika bulan Syawal, serangkaian pengajian dilakukan dengan Sedekah Laut yang dilakukan bersama oleh warga Tri Desa. Sedekah Laut ini diadakan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi, terutama di laut, seperti cuaca buruk atau nelayan tenggelam.

Pengajian dan ritual tersebut memang bertujuan untuk “mencegah” hal-hal buruk terjadi. Sayangnya, khususnya di Purworejo, sarana yang dibutuhkan untuk menangani kejadian buruk tersebut, misalnya ambulans, tidak ada. Ketika ada kondisi mendesak seperti sakit atau melahirkan di mana pasien harus dibawa ke luar desa, warga harus memakai kendaraan pribadi atau mencari kendaraan tetangga yang bersedia dipinjam.

Timbulsloko: Melawan Tenggelam
Banyak media memberitakan Desa Timbulsloko sebagai “Kampung Rumah Panggung” yang dibangun sebagai sebuah bentuk adaptasi karena area daratan desa terisolir banjir rob yang kian tahun kian meninggi. Menurut pengakuan warga yang kami temui, sejak awal 2000-an, Timbulsloko secara berangsur-angsur mengalami penurunan muka tanah oleh abrasi dan banjir rob yang mengakibatkan permukaan air laut lebih tinggi dari permukaan tanah. Desa Timbulsloko merupakan desa yang paling besar mengalami abrasi ketimbang 19 desa lain di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.

Sejak tahun 2000-an itu pula, banyak lahan-lahan produktif di desa, seperti kebun dan persawahan, mengalami penyempitan dan bahkan menghilang sepenuhnya. Area pemukiman di dua dukuh yakni Borogame dan Timbulsloko bahkan terendam air laut secara permanen. “Rumah Panggung” yang banyak disinggung di pemberitaan, sejatinya adalah bentuk upaya swadaya warga dibantu pihak-pihak non-pemerintah untuk tetap membuat ‘jalan’ di desa mereka agar dapat diakses dan dilalui untuk aktivitas sehari-hari. Karena ‘jalan’ sudah berupa ‘panggung’, rumah warga pun turut dimodifikasi menjadi rumah panggung agar tingginya menjadi sejajar dengan jalan.

Foto 3. Pemukiman di Desa Timbulsloko, 4 Maret 2024 (Nisrina Nadhifah)

Kondisi rob dan rumah mereka yang terendam ini diketahui warga sebagai sesuatu yang tidak ada penyelesaiannya, karena warga mengalami sendiri bahwa semenjak beberapa tahun terakhir, terutama bila hujan mengguyur, rob akan semakin tinggi dan rumah mereka semakin terancam tenggelam. Sumber mata pencaharian pun mereka beralih, dari yang sebelumnya mengandalkan hasil produksi padi dari persawahan dan juga perkebunan kelapa, lambat laun mereka beralih ke produksi tambak udang dan bandeng. Namun, karena semakin banyaknya daratan yang ‘mati’, mereka beralih menjadi nelayan tangkap dan buruh, baik itu buruh kontrak di pabrik atau buruh harian.

Profesi nelayan juga digeluti oleh para perempuan di Timbulsloko. Kebanyakan dari mereka menggunakan metode ‘jebak’, yakni dengan memasang alat ‘jebak’, yaitu semacam jaring pada sore hari sekitar pukul 15.00, kemudian diambil pada keesokan harinya sekitar pukul 06.00. Menurut para nelayan perempuan, rata-rata mereka memiliki empat sampai sembilan alat dan hasil tangkapan yang di dapat dari setiap alat kurang lebih sekitar 3 ons.

Warga Timbulsloko berjuang keras melawan bahaya ‘tenggelam’ sekaligus melawan bahaya kelaparan yang secara nyata menghantui mereka dari ke hari akibat penghasilan yang tidak pasti dan naiknya harga kebutuhan pokok. Mereka mengaku kerap kali mengandalkan warung untuk berutang belanjaan, dan berupaya keras menghindar dari godaan meminjam uang ke ‘Bank Setan’ – tak seperti sejumlah warga desa-desa lain di kawasan Pantai Utara Jawa Tengah yang rutin menjadi nasabah ‘Bank Setan’ (dapat disimak melalui artikel sebelumnya di sini).

Mengenai akses air bersih, di tengah kondisi desa yang terus menerus digenangi air, warga masih mengandalkan dua sumur bor sebagai sumber penghasil air bersih mereka. Satu sumur bor adalah hasil dari iuran warga pada sekitar tahun 2004, dan yang satu lagi merupakan pompa air bertenaga surya yang merupakan bantuan dari Greenpeace pada tahun 2023. Sejak 18 Juni 2023, pompa air bertenaga surya berhasil dipasang dan mengalirkan air dari sumur yang telah warga gali sejak 31 Mei 2023. Tidak hanya itu, lampu penerangan di jalan desa yang juga bertenaga surya telah menerangi Timbulsloko. Baik sumur bor dan pompa air tenaga surya dikelola oleh warga dengan modal kepercayaan dan kesepakatan, melalui proses musyawarah mereka menyepakati struktur pengurus hingga jumlah iuran yang harus dibayarkan untuk kebutuhan perawatan alat.

Kelurahan Tanjungmas: Dari Perbedaan Wilayah Administratif hingga Peran ‘Sangpuan’ dalam Mewadahi Aspirasi Perempuan
Kelurahan Tanjungmas di Kota Semarang memiliki karakteristik yang cukup berbeda dengan desa-desa yang kami kunjungi sebelumnya. Jika sebelumnya kami harus menempuh waktu yang lebih lama, dan sekali dua kali melewati daerah terjal untuk sampai ke desa, Kelurahan Tanjungmas lokasinya masih sangat dekat dengan pusat kota.

Masih berada dalam lingkup administrasi wilaya Kota Semarang, Kelurahan Tanjungmas memiliki karakteristik penduduk yang heterogen. Tiga kampung yang menjadi lokasi dampingan proyek FOCUS di Kelurahan Tanjungmas meliputi Kampung Tambakrejo, Kampung Tambaklorok, dan Kampung Kebonharjo. Berbeda dengan dua kampung lainnya, Kampung Kebonharjo memiliki karakteristik Kampung Urban yang warganya lebih banyak memiliki mata pencaharian sebagai buruh pabrik dan wiraswasta. Sedangkan mata pencaharian sebagian besar warga di dua kampung lainnya adalah nelayan.

Menjadi tantangan tersendiri bagi kami untuk menggali data dan informasi terkait kesejarahan Kelurahan Tanjungmas karena tidak tersedianya tokoh kunci yang mengetahui sejarah dan kondisi desa pada masa lampau. Adanya sosok pemimpin desa yang biasanya dianggap mengetahui dengan baik sejarah desa tampaknya tidak berlaku di Kelurahan Tanjungmas. Hal tersebut karena lurah bukanlah merupakan tokoh desa, sebagaimana yang ditemui di wilayah lain, melainkan perangkat dari pemerintah kota yang ‘ditunjuk’ untuk bertugas di wilayah Kelurahan Tanjungmas. Bukan hanya itu, wilayah Tanjungmas yang masih berada di dalam pusat kota dan memiliki tingkat migrasi yang tinggi menjadikan karakteristik penduduk urban yang cukup melekat pada mayoritas warga Kelurahan Tanjungmas.

Foto 4. Pemukiman di Kelurahan Tanjungmas, 8 Maret 2024 (Ruhaina Zulfiani)

Keberagaman juga tampak terlihat di Kelurahan Tanjungmas. Terdapat “Klinik 5.000” dengan dokter yang bertugas berasal dari Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM). YAKKUM sendiri merupakan sebuah yayasan kesehatan kristen yang berdiri sebagai hasil kerjasama antara Sinode Gereja Kristen Jawa dan Sinode Gereja Kristen Indonesia. Berlokasi di Kampung Tambaklorok, tepatnya di RW 13, menjadikan Klinik 5.000 menjadi alternatif tempat berobat yang banyak dipilih oleh warga. Hanya dengan membayar Rp5.000 untuk penanganan dokter beserta obat yang umumnya untuk 3 hari, serta lokasi yang masih berada di dalam kelurahan, menjadi keunggulan klinik ini. Meskipun mayoritas warga beragama Islam, kepercayaan warga terhadap dokter yang berasal dari YAKKUM sama sekali tidak berkurang. Hal yang dikeluhkan warga adalah jam operasional klinik yang hanya beroperasi setiap tiga hari dalam seminggu, yaitu pada hari Senin, Rabu, dan Jumat. Pada hari-hari lain di luar hari operasional Klinik 5.000, warga akan banyak berkunjung ke puskesmas.

Pengambilan keputusan di Kelurahan Tanjungmas dilakukan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang dilakukan secara bertingkat, dimulai dari kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, regional/wilayah, hingga pusat. Forum ini menjadi wadah untuk menampung aspirasi masyarakat serta memperkuat partisipasi mereka dalam proses pembangunan. Di Kelurahan Tanjungmas terdapat kegiatan ‘Sangpuan’ yang menjadi wadah khusus untuk menampung aspirasi para perempuan untuk Musrenbang.

Kegiatan ‘Sangpuan’ merupakan singkatan dari Kegiatan ‘Sayang anak dan perempuan’ yang telah aktif dilakukan sejak tahun 2022. Kegiatan ini dilakukan setiap satu tahun sekali. Sesuai namanya, kegiatan ini membahas tentang usulan-usulan terkait permasalahan perempuan dan anak yang akan dimasukkan ke dalam Musrenbang Kelurahan yang selanjutnya usulan tersebut akan dibawa ke tingkat kecamatan dan diputuskan di tingkat kota. Usulan tersebut biasanya terkait dengan kesehatan, ekonomi, dan sosial. Forum-forum serupa Sangpuan ini memang lazim dilakukan dalam proses Musrenbang, sebagai upaya affirmative action untuk melibatkan perempuan (dan anak) dalam forum-forum pengambilan keputusan strategis. Melalui kegiatan Sangpuan, harapannya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dapat mengakomodasi kebutuhan berbagai kelompok masyarakat, sehingga pembangunan dapat berdampak pada pemberdayaan dan memenuhi kebutuhan seluruh elemen masyarakat.